Jumat, 30 April 2010

INDUSTRI TELUR ASIN

(POLA PEMBIAYAAN SYARIAH)
ASPEK PRODUKSI
TEKNOLOGI
Telur asin dapat dibuat melalui beberapa teknik penggaraman yang secara umum dibagi menjadi tiga macam proses, yaitu :
1. Cara penyuntikan, yaitu memasukkan larutan garam ke dalam telur dengan teknik penyuntikan,
2. Cara perendaman, yaitu telur direndam dalam larutan garam atau adonan lumpur garam,
3. Cara pemeraman, yaitu pembungkusan atau penyalutan telur yang dilumuri dengan adonan pengasin (garam dan tanah liat).
Teknik penyuntikan merupakan teknik yang paling mudah dan cepat untuk menghasilkan telur asin, tetapi cara ini sangat beresiko dalam menghasilkan telur asin yang baik dan mulus, karena adanya proses pelubangan kulit telur guna memasukkan cairan garam. Jika pengusaha belum trampil dan belum menguasai cara ini, maka teknik ini dianjurkan untuk tidak dilakukan.
Cara pengasinan dengan perendaman dalam larutan garam atau adonan adalah proses pembuatan telur asin yang paling sederhana. Pada proses ini dilakukan pembuatan larutan garam dengan cara mencampur air dan garam dapur sampai jenuh, dimana air tidak mampu lagi melarutkan garam atau pembuatan adonan tepung bata merah dengan garam. Perendaman telur yang sudah dicuci kedalam larutan tersebut selama 8 hari. Keunggulan pembuatan telur asin dengan cara ini adalah prosesnya lebih singkat, meski kualitas telur asin yang dihasilkan kurang bagus dibandingkan proses pemeraman. Untuk menghindari telur tidak mengapung jika menggunakan larutan jenuh garam maka diberi pemberat pada permukaannya, sedangkan untuk adonan bata merah dan garam tidak perlu diberi tutup pemberat.
Cara pengasinan telur dengan metode pembungkusan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :
1. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam, yang akan menghasilkan telur asin yang jauh lebih bagus mutunya, warna lebih menarik, serta cita rasa yang lebih enak, tapi prosesnya lebih rumit,
2. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam dan tanah liat merupakan cara yang lazim digunakan pada industri telur asin.
INDUSTRI TELUR ASIN
(POLA PEMBIAYAAN SYARIAH)
PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN
POLA PEMBIAYAAN
Pola pembiayaan usaha produksi telur asin dapat berasal dari pengusaha sendiri maupun dari bank dengan proporsi yang sangat beragam antar pengusaha. Sumber dana lain berasal dari lembaga Pemerintahan seperti Kementrian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang disalurkan melalui bank.

Merujuk pada perkembangan perbankan syariah, maka pada buku ini salah satu produk syariah yang digunakan untuk pembiayaan industri telur asin adalah murabahah (jual beli).

Kriteria yang menjadi pertimbangan bank dalam melakukan analisis kredit kepada nasabah adalah 5C, yaitu character (watak), capacity (kemampuan), capital (permodalan), collateral (jaminan) dan condition (kondisi).
INDUSTRI TELUR ASIN
(POLA PEMBIAYAAN SYARIAH)
ASPEK PEMASARAN
PERMINTAAN DAN PENAWARAN
1. Permintaan
Industri telur asin mempunyai peranan yang cukup penting bagi industri pangan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan protein dan lemak masyarakat. Persentase telur sebagai sumber protein adalah sebesar 2,08% dari seluruh bahan pangan yang umum dikonsumsi.
Menurut data dari BPS Cirebon, produksi telur itik di Kabupaten Cirebon tahun 2003 adalah sebanyak 24.000.000 butir dengan lebih dari 30% diolah menjadi telur asin. Sedangkan konsumsi per kapita beberapa jenis telur dan susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia per kapita disajikan pada Tabel 3.1. Jumlah total telur asin yang dikonsumsi akan didapatkan dari hasil perkalian nilai di Tabel 3.1 ini dengan jumlah penduduk Indonesia.
Tabel 3.1.
Konsumsi per Kapita Telur dan Susu di Indonesia

Komoditi Tahun
1990 1993 1996 1999 2002
Telur Itik (butir) 6,6 6,6 4,52 3,22 4,47
Telur Asin (butir) 1,51 1,56 1,98 0,99 1,92
Telur Ayam (kg) 2,55 3,28 4,71 7,88 4,58
Susu (liter) 0,31 0,31 0,21 0,21 0,21
1 kg telur ayam = 16 butir
Sumber : BPS (Data Susenas)

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa konsumsi telur tertinggi berasal dari telur ayam diikuti dengan telur itik tawar kemudian telur asin. Konsumsi telur asin umumnya hanya sekitar 25 – 30% dibandingkan jumlah konsumsi telur itik tawar. Persentase ini umumnya tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Dari tahun ke tahun konsumsi telur asin per kapita umumnya tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 2 butir per orang per tahun.

Pada tahun 1999 terjadi penurunan permintaan telur asin yang cukup besar dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi telur ayam, dengan pertimbangan bahwa penurunan konsumsi telur asin diakibatkan beralihnya konsumen ke telur ayam. Meski demikian pada tahun-tahun berikutnya perbandingan konsumsi telur per kapita sudah kembali pada nilai –nilai yang hampir sama dengan tahun sebelumnya.

Dalam melakukan perhitungan umumnya BPS akan menghitung jumlah konsumsi telur dan susu sebagai satu kesatuan. Perbandingan pengeluaran per kapita di daerah Kabupaten Cirebon untuk membeli susu dan telur dibandingkan keperluan konsumsi lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Pengeluaran per Kapita untuk Bahan Pangan Masyarakat Kabupaten Cirebon
Bahan Pengeluaran pada tahun (Rp/bulan)
1999 2000 2001 2002 2003
Konsumsi Telur + Susu 10.182 13.362 14.341 16.536 16.854
Total Konsumsi 256.891 276.732 284.881 333.714 386.766
Sumber : BPS Cirebon
Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.2. pengeluaran per kapita untuk konsumsi telur dan susu tidak mengalami perubahan yang cukup drastis, dimana perubahan pengeluaran tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan harga dan bukan oleh peningkatan jumlah pembelian.

Meskipun dari sisi statistik tidak terjadi perubahan jumlah konsumsi per kapita yang drastis, berdasarkan informasi dari pengusaha industri telur asin di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, diperoleh gambaran bahwa prospek pasar produk telur asin masih baik, karena ketersediaan bahan baku, jaminan pasar serta dinilai sebagai usaha yang menguntungkan. Selain itu perluasan pasar dari daerah sentra telur asin ke daerah-daerah baru semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sarana dan prasarana transportasi.
2. Penawaran
Analisa pasar terhadap penawaran produk telur asin secara langsung masih belum dilakukan secara nasional. Perhitungan tidak langsung dapat dilakukan dengan memperkirakan persentase jumlah telur itik yang diasinkan dibandingkan produksi telur itik nasional. Data produksi total telur itik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Produksi Telur Itik Indonesia
Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)
2000 144.306
2001 157.578 9,2
2002 169.651 7,66
2003 185.037 9,07
2004 194.004 4,85
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan

Pada Tabel 3.3. dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan produksi telur itik setiap tahun dari tahun 2000 sampai 2004, meskipun dari tahun 2003 hingga tahun 2004 peningkatan produksi tidaklah setinggi tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah produksi telur itik menunjukkan penggunaan dan konsumsi telur itik dalam negeri oleh masyarakat maupun industri makanan (termasuk industri farmasi dan jamu) mengalami peningkatan.
PERSAINGAN DAN PELUANG
Persaingan yang terjadi pada industri telur asin tidak tajam, karena para pengusaha umumnya telah mempunyai pelanggan tetap. Upaya yang harus dilakukan pengusaha adalah menjaga mutu sehingga pelanggan puas dan tidak pindah ke pengusaha lain. Persaingan yang mungkin akan terjadi adalah persaingan untuk mendapatkan bahan baku yang murah, dimana petani itik petelur dapat saja memilih untuk menetaskan telur dibandingkan menjual telur tawar kepada produsen telur asin.
Permintaan telur itik di Kabupaten Cirebon sebanyak 96,4 juta butir pertahun dan 6,9 juta butir/tahun diantaranya akan ditetaskan. Penetasan telur menjadi salah satu usaha yang cukup menguntungkan karena harga anak itik muda hasil penetasan (DOD) lebih mahal (antara Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per ekor) dibandingkan harga telur itik tawar yang dapat mereka jual ke produsen telur asin (sekitar Rp 625 per butir). Padahal hanya diperlukan waktu kurang dari satu bulan untuk menetaskan itik dengan peralatan penetas yang sederhana dan harganya relatif murah (sekitar Rp 600.000 untuk kapasitas 700 butir).
Perluasan pasar umumnya dilakukan dengan pencarian pelanggan baru. Untuk mencapai tujuan ini pengusaha akan memperkerjakan beberapa orang agen pemasaran. Telur asin yang memiliki rasa lezat umumnya memiliki keunggulan pemasaran yang jauh lebih baik dibandingkan dengan telur asin dengan rasa biasa. Faktor rasa bagi pembeli menjadi hal yang sangat penting, oleh karena itu produsen yang mampu memproduksi telur asin dengan rasa yang lezat sangat dimungkinkan untuk melakukan penjualan ke luar daerah.
HARGA
Harga bahan baku utama industri ini adalah telur itik tawar yang dibeli dengan harga Rp 550 - Rp 650 per butir. Harga bahan baku telur itik tidak mengalami perubahan yang signifikan selama tidak terjadi kegagalan panen pada suatu daerah yang akan mengakibatkan berkurangnya stok telur itik yang menyebabkan meningkatkan harga telur itik tawar.
Harga telur asin yang dijual kepada konsumen berkisar antara Rp 750 – Rp 1.000 per butir. Perbedaan harga ditentukan berdasarkan ukuran telur asin, harga telur asin dengan ukuran lebih besar dapat mencapai Rp 100 lebih mahal dibandingkan dengan telur yang berukuran lebih kecil. Daerah penjualan turut mempengaruhi perbedaan harga, sehingga harga telur asin di kota-kota besar relatif lebih mahal dibandingkan harga telur asin di kota-kota kecil atau daerah pedesaan
JALUR PEMASARAN
Penjualan produk industri telur asin ini dapat dilakukan sendiri oleh pengusaha maupun melalui jasa agen penjualan, dengan pembeli konsumen langsung, rumah-rumah makan dan perkantoran. Pola pemasaran produk telur asin ini secara umum terbagi tiga, yaitu :
1. Pengusaha menjual langsung produknya ke pasar-pasar setempat. Pada pola ini daerah pemasaran hanya berkisar pada pasar-pasar yang terdapat pada kabupaten yang sama dengan daerah produsen telur asin yang bersangkutan. Misalkan untuk Kabupaten Cirebon daerah pemasaran berlokasi dapat di Pasar Sumber, Pasar Drajat, Pasar Mundur dan Pasar Karang Sambung.
2. Pengusaha memperkerjakan tenaga-tenaga pemasaran di kota-kota besar untuk mendapatkan pesanan dalam jumlah yang besar dan harga yang cukup baik. Para tenaga pemasaran tersebut akan menjual telur asin ke rumah-rumah makan atau konsumen secara langsung. Kota yang menjadi daerah pemasaran utama untuk produksi telur asin dari wilayah ini adalah DKI Jakarta dan sekitarnya.
3. Pemesanan langsung dari agen-agen penjual telur asin yang berada dari luar daerah produsen telur asin, dimana para agen tersebut akan memasok telur asin ke restoran, kapal dan perkantoran.
Dari ketiga jenis pemasaran di atas, untuk pemesanan yang hanya memerlukan angkutan darat semua produk diangkut dengan kendaraan yang dimiliki oleh produsen telur asin, sedangkan untuk pemesanan lintas pulau dapat pula menggunakan sarana angkutan udara.

Gambar 3.1. Skema Jalur Pemasaran Telur Asin
KENDALA PEMASARAN
Kendala pemasaran yang dihadapi oleh industri telur asin adalah harga bahan baku yang meningkat setiap saat manakala terjadi kegagalan panen padi. Lonjakan harga bahan baku memaksa produsen untuk menaikkan harga, akan tetapi kenaikan harga dapat menyebabkan konsumen beralih ke produk pangan lain.

Selain masalah harga kendala pemasaran yang lain adalah persepsi masyarakat akan bahaya dari konsumsi garam yang berlebihan. Telur asin yang memiliki kandungan garam yang cukup tinggi menjadi makanan yang cukup dijauhi oleh mereka yang ingin mengurangi konsumsi garamnya.
LOKASI USAHA
Lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi telur itik sebagai sumber bahan baku utama, yaitu pada umumnya daerah persawahan. Wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon merupakan salah satu sentra industri telur asin terbesar di Jawa Barat, karena pada daerah persawahan yang besar ini terdapat cukup banyak usaha peternakan itik.
FASILITAS PRODUKSI DAN PERALATAN
Ruangan proses produksi industri telur asin tidak harus memenuhi suatu standar tertentu, namun diperlukan beberapa ruangan dengan tingkat pencahayaan yang berbeda. Ruangan untuk melakukan penyortiran dan pencucian telur harus ruangan yang terang, sedangkan ruangan untuk pengasinan telur diharapkan cukup tertutup dan hangat.

Peralatan yang banyak digunakan dalam proses produksi telur asin adalah ember atau baskom untuk tempat pencampuran adonan dengan telur serta tempat untuk mencuci telur. Adapun peralatan lainnya berupa panci tempat perebusan telur dan kompor minyak tanah. Disamping itu dibutuhkan tempat penyimpanan telur untuk menyimpan telur asin pada proses pengasinan.
BAHAN BAKU
Bahan baku utama industri telur asin adalah telur itik yang diperoleh dari peternak lokal dengan cara membeli di tempat peternakan itik. Untuk menjaga mutu dari telur asin yang dihasilkan, maka bahan baku telur itik umumnya berukuran besar, masih segar dan tidak retak
PROSES PRODUKSI
Proses produksi telur asin yang dilakukan dalam studi pola pembiayaan ini adalah proses pemeraman melalui pembungkusan dengan adonan garam dan tanah liat. Diagram alir proses pembuatan telur asin adalah sebagai berikut:



Grafik 4.1. Diagram Alir Proses Pengolahan Telur Asin
Proses produksi dengan cara pembungkusan dengan adonan dan pemeraman yang digunakan pada industri telur asin adalah sebagai berikut:

a. Penseleksian telur itik

Penseleksian telur itik dilakukan pada saat pembelian telur di peternak itik dimana telur dengan kualitas jelek tidak akan diterima/dibeli. Sedangkan penyeleksian telur di lokasi pabrik dilakukan pada saat akan melakulan pencampuran dengan adonan. Tingkat kegagalan proses ini sangat rendah, dimana dari 1000 butir telur hanya terdapat 1 butir yang tidak layak untuk dijadikan telur asin (satu permil).

Proses penseleksian telur itik pada saat akan melakukan pencampuran dengan adonan terbagi menjadi dua macam pengamatan, yaitu pengamatan kekuatan kulit telur (dites dengan membenturkan dua butir telur satu sama lain) serta pengamatan keutuhan kulit telur (diamati secara visual apabila terdapat keretakan) (Photo 4.1).


Photo. 4.1. Proses Seleksi Telur Itik

b. Pembuatan adonan

Adonan yang digunakan dalam proses pemeraman telur itik adalah campuran antara garam, tanah liat atau serbuk bata merah. Garam menjadi bahan pembantu utama karena berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus bahan pengawet serta dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen diperlukan oleh bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak protein), dan menyerap air dari dalam telur. Perbandingan kebutuhan bahan adonan untuk garam dan tanah liat adalah 1 : 3 (Tabel 4.1), kemudian dilakukan pengadukan hingga rata dan berbentuk seperti bubur kental.
Tabel 4.1.
Komposisi Bahan Penyusun Adonan Pengasin (Kapasitas 150.000 butir)

Bahan Adonan Satuan Jumlah
1. Garam kg 1.500
2. Tanah Liat kg 4.500
Sumber : Hasil Penelitian dan Pengamatan Lapang

c. Pemeraman

Proses perendaman dalam adonan pengasin adalah salah satu faktor penentu derajat keasinan telur asin (Photo 4.2). Proses ini diawali dengan memasukkan telur itik yang telah diseleksi ke dalam wadah/ember yang telah berisi adonan. Setelah seluruh lapisan telur tertutup oleh adonan, maka telur tersebut dipindahkan kedalam kotak kayu yang telah disiapkan untuk proses pemeraman (Photo 4.3). Pemeraman yang baik adalah selama 10 hari. Namun demikian lamanya proses pemeraman dalam bungkus adonan akan disesuaikan dengan selera masyarakat yang akan mengkonsumsinya, karena semakin lama dibungkus dengan adonan maka akan banyak garam yang merembes masuk ke dalam telur sehingga telur menjadi semakin awet dan asin.


Photo 4.2. Proses Pengolesan Adonan Pengasin Pada Telur



Photo. 4.3. Proses Pemeraman Telur

d. Pencucian

Pencucian telur dilakukan dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa adonan pengasin yang masih melekat pada telur. Pencucian ini dilakukan dengan cara menggosok kulit telur dengan sikat yang telah dibasahi cairan sabun (Photo 4.4).


Photo 4.4. Proses Pencucian Telur Asin

Setelah dicuci diakukan perendaman untuk menjamin hilangnya sisa-sisa adonan dan sabun yang masih menempel pada kulit telur (Photo 4.5).


Photo 4.5. Proses Perendaman Telur Asin

e. Perebusan

Proses perebusan bertujuan untuk mematangkan telur asin mentah. Proses ini dilakukan pada panci perebus dengan ukuran yang bervariasi dengan kapasitas panci berkisar antara 500 - 1.500 butir untuk sekali rebus (Photo 4.6). Proses perebusan sendiri dilakukan selama kurang lebih 3-5 jam. Setelah direbus telur asin dapat dikonsumsi hingga 21 hari.


Photo. 4.6. Proses Perebusan Telur Asin

f. Penirisan dan Pemberian Cap

Setelah dilakukan perebusan, telur asin dikeluarkan dari panci perebus dan dilakukan proses penirisan. Proses ini dilakukan di atas wadah dimana telur diangin-anginkan hingga kering dan tidak terlalu panas. Proses selanjutnya adalah pemberian cap merek dagang dan kode produksi.


Photo 4.7. Penirisan Telur Asin



Photo 4.8. Pemberian Cap Merek dan Kode Produksi
g. Penyimpanan

Pada tahapan akhir proses produksi, telur asin yang telah diberi cap merek akan dikemas dalam berbagai macam bentuk pengemas, seperti pengemas plastik (Photo 4.9). Namun hanya sekitar 25% dari total produksi telur asin dikemas dalam pengemas plastik tersebut. Selanjutnya untuk keperluan pengiriman ke konsumen, sebelum dibawa menggunakan mobil pengangkut, dilakukan pengepakan dan penyimpanan dalam kotak-kotak kayu (Photo 4.10) .


Photo 4.9. Pengemasan



Photo 4.10. Pengepakan Telur Asin Sebelum Diangkut
JENIS DAN MUTU PRODUKSI
Jumlah telur asin yang diproduksi oleh pengusaha tergantung permintaan dan pasokan bahan baku dari peternak itik. Berdasarkan peneltian dan pengamatan di lapang, produsen kelas menengah dapat memproduksi sebanyak 2.000 – 5.000 butir telur asin per hari sedangkan produsen kecil memproduksi 100 - 300 butir telur perhari.

Tidak ada klasifikasi yang jelas untuk membedakan jenis telur asin yang dijual. Perbedaan harga jual telur asin sangat ditentukan oleh besar kecilnya telur asin, dimana. perbedaan harga telur asin untuk ukuran besar dan kecil berkisar antara Rp 100 - Rp 200.

Konsep jaminan mutu diterapkan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Pada umumnya, kualitas telur ditentukan oleh :
1. Kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur), dan
2. Kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur).
Persyaratan mutu telur asin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-01-4277-1996) adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2.
Tabel Standar Mutu Telur Asin (SNI-01-4277-1996)
No Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - normal
1.2 Warna - normal
1.3 Penampakan - normal
2 Garam b/b % min. 2,0
3 Cemaran mikroba
- Salmonella koloni/25 g negatif
- Staphyloccocus aurous koloni/g < 10
Sumber : Badan Standarisasi Nasional



• Tanaman Pangan
• Tanaman Perkebunan
• Peternakan
• Perikanan
• Industri

Pendahuluan
Profil Usaha
•Profil Usaha
•Pola Pembiayaan
Aspek Pemasaran
•Permintaan
•Persaingan
•Harga
•Jalur Pemasaran
•Kendala Pemasaran
Aspek Produksi
•Lokasi Usaha
•Fasilitas Produksi
•Bahan Baku
•Tenaga Kerja
•Teknologi
•Proses Produksi
•Mutu Produksi
•Produksi Optimum
•Kendala Produksi
Aspek Keuangan
•Fleksibilitas
•Pola Usaha
•Asumsi
•Komponen Biaya
•Kebutuhan Dana
•Pendapatan
•Proyeksi Rugi Laba
•Proyeksi Arus Kas
•Perolehan Margin
•Hambatan

Sosial Ekonomi
Dampak Lingkungan
Kesimpulan
•Kesimpulan
•Saran
PRODUKSI OPTIMUM
Tingkat produksi ditentukan oleh ketersedian bahan baku. Secara teknis berdasarkan skala usaha yang ada maka produksi telur asin sebanyak 150.000 butir per bulan menjadi produksi optimum usaha ini. Namun demikian, sebagai suatu usaha yang banyak menggunakan tenaga manusia maka skala optimum dari industri telur asin ini belum dapat ditentukan secara pasti. Pabrik berproduksi selama 8 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu.
KENDALA PRODUKSI
Faktor kritis industri telur asin ini adalah ketersediaan dan kontinuitas bahan baku, dimana bila terjadi kegagalan panen pasokan bahan telur itik tidak akan cukup. Oleh karena itu pengusaha harus mendatangkan telur itik dari daerah lain.
Pada proses produksi, faktor kritis lain terdapat pada waktu penseleksian telur, karena mutu telur yang akan diolah merupakan hal dominan dalam penentuan mutu produk telur asin.
FLEKSIBILITAS PRODUK PEMBIAYAAN SYARIAH
Analisa aspek keuangan membantu pihak muhal atau shahibul maal (Lembaga Keuangan Syariah/LKS) memperoleh gambaran tentang prospek usaha yang akan dibiayai. Aspek keuangan juga dapat membantu pihak muhil atau mudharib (pengusaha) dalam mengelola dana pembiayaan untuk usaha bersangkutan.

Berbeda dengan produk pembiayaan konvensional yang hanya mengenal satu macam produk yaitu pembiayaan dengan sistem perhitungan suku bunga, pada pola syariah mempunyai keragaman produk pembiayaan dan perhitungan keuntungan (perolehan hasil) yang fleksibel.

Untuk produk syariah banyak ragamnya, diantaranya mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah dan murabahah (Lampiran 1). Dari produk tersebut, setiap produk juga masih mempunyai turunannya. Oleh karena itu, pada pola pembiayaan syariah satu usaha bisa memperoleh pembiayaan lebih dari satu macam produk.

Sedangkan untuk menghitung tingkat keuntungan yang diharapkan bisa menggunakan sistem margin atau nisbah bagi hasil. Margin merupakan selisih harga beli dengan harga jual sebagai besar keuntungan yang diharapkan. Nisbah bagi hasil adalah proporsi keuntungan yang diharapkan dari suatu usaha. Pada perhitungan nisbah bagi hasil dapat menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing/PLS) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing). Profit sharing, nisbah bagi hasil diperhitung -kan setelah dikurangi seluruh biaya (keuntungan bersih). Sementara revenue sharing perhitungan nisbah berbasis dari pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasionalnya.

Keragaman produk pembiayaan dan perhitungan tingkat keuntungan ini dapat memberi keluwesan/fleksibilitas baik untuk pihak shahibul maal maupun mudharib untuk memilih produk pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Bagi pihak shahibul maal, pemilihan ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dan tingkat resiko terhadap nasabah dan usahanya. Sehingga bisa terjadi untuk usaha yang sama, mendapat produk pembiayaan maupun besaran margin atau nisbah per nasabahnya berbeda.
PEMILIHAN POLA USAHA
1. Karakteristik Industri Telur Asin

Produk yang dipilih untuk usaha industri telur asin adalah telur asin yang telah direbus. Industri ini mendapatkan bahan baku dengan cara membeli telur itik ke peternak secara langsung. Pembelian bahan baku secara langsung dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang baik serta menjamin kesinambungan ketersediaan pasokan telur itik. Pada proses produksi, tingkat kerusakan hasilnya pun sangat kecil yaitu hanya satu per mil per produksi. Sedangkan untuk pasar telur asin, umumnya pengusaha sudah mempunyai pelanggan yang pasti (captive market). Dengan demikian usaha industri telur asin ini tingkat resikonya sangat kecil. Oleh sebab itu, industri telur asin memiliki prospek untuk dikembangkan.

Merujuk pada sistem keuangan syariah yang mempunyai banyak ragam produk pembiayaan, maka pada aspek keuangan ini akan disajikan contoh produk pembiayaan dengan cara murabahah (jual beli) baik untuk pembiayaan investasi maupun untuk pembiayaan modal kerja juga untuk pembiayaan usaha baru (start up) ataupun usaha yang sudah berjalan (running). Pertimbangannya adalah karena produk ini sudah banyak diterapkan dalam praktek oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan masyarakat pemakai pun sudah mengenal serta mengakses pola pembiayaan tersebut.
ASUMSI DAN PARAMETER ANALISIS KEUANGAN
Untuk analisa kelayakan usaha diperlukan adanya beberapa asumsi mengenai parameter, teknologi proses maupun biaya, sebagaimana terangkum dalam Tabel 5.1. Asumsi ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap industri telur asin di Kabupaten Cirebon serta informasi yang diperoleh dari pengusaha dan pustaka. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 5.1.
Asumsi untuk Analisis Keuangan

No Asumsi Satuan Nilai/jumlah
Alternatif - 1
(usaha baru) Alternatif ? 2
(usaha berjalan)
1. Produk syariah Murabahah (jual beli) Murabahah (jual beli)
2. Bulan kerja tahun bulan 12 12
3. Jangka waktu pembiayaan tahun Investasi =3 th
Modal kerja = 1 th Modal kerja = 1th
4. Produksi telur asin per bulan butir 150.000 150.000
5. Harga jual telur itik Rp/butir 625 625
6 Harga jual telur asin Rp / butir 800 800
7 Margin % 12.5 (flat) 16 (flat)
8 Uang muka % Nol (tidak ada) Nol (tidak ada)

Melalui asumsi produksi sebanyak 5.000 butir per hari dan selama 30 hari kerja perbulan, maka total produksi telur asin diproyeksikan sebanyak 150.000 butir dengan tingkat kerusakan bahan baku/produksi sebesar 1 o/oo (satu per mil).
KOMPONEN BIAYA INVESTASI DAN BIAYA OPERASIONAL
Komponen pembiayaan dalam analisis kelayakan industri telur asin dibedakan menjadi dua yaitu pembiayaan investasi dan pembiayaan operasional. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal pendirian usaha yang meliputi lahan/areal usaha, peralatan dan sarana pengangkutan. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi.

1. Biaya Investasi

Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal industri telur asin ini meliputi tanah dan bangunan serta prasarana angkutan dan peralatan, dengan total biaya sebesar Rp 173.525.000. Komponen terbesar adalah kendaraan (64,83%) untuk pembelian mobil boks, pick-up dan sepeda motor, kemudian bangunan industri seluas 150.000 m2 (21,61%) serta peralatan produksi dan pengemas (9,23%), tersaji pada Tabel 5.2. Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 3.

Tabel 5.2.
Kompisisi Biaya Investasi (Rp)

No Komponen Biaya Jumlah Persen
1 Perizinan 2.500.000 1,44
2 Tanah 4.000.000 2,31
3 Bangunan 37.500.000 21,61
4 Kendaraan 112.500.000 64,83
5 Alat produksi dan pengemas 16.025.000 9,23
6 Peralatan lainnya 1.000.000 0,58
Jumlah 173.525.000 100

2. Biaya Operasional

Biaya operasional dalam industri telur asin meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Total biaya operasional per tahun sebesar Rp 1.343.385.000 dengan asumsi bahwa sejak tahun pertama usaha ini sudah dapat beroperasi dengan kapasitas 100%. Biaya operasional tersebut terdiri dari biaya tetap Rp 49.920.000,00 dan biaya variabel sebesar Rp 1.293.465.000, tersaji pada Tabel 5.3. Selengkapnya rincian kebutuhan biaya variabel dan biaya tetap ditampilkan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.

Tabel 5.3.
Komponen Biaya Operasional (Rp)

No Komponen Biaya Perbulan Pertahun
1 Biaya Variabel 107.788.750 1.293.465.000
2 Biaya Tetap 4.160.000 49.920.000
3 Jumlah Biaya Operasi 111.948.750 1.343.385.000
KEBUTUHAN DANA INVESTASI DAN MODAL KERJA
Total kebutuhan pembiayaan proyek sebesar Rp 341.448.125. Total biaya ini terdiri dari biaya investasi sebesar Rp 173.525.000 dan biaya operasionalnya sebesar Rp 167.923.125. Untuk kebutuhan dana operasional dihitung dari kebutuhan biaya variabel dan biaya tetap selama 1,5 bulan. Penetapan jangka waktu tersebut didasarkan atas perhitungan bahwa pendapatan dari penjualan telur asin diperoleh paling cepat pada hari ke 41 sejak proses produksi dilakukan.

Untuk kebutuhan dana investasi, pada contoh perhitungan alternatif pertama (start up), komponen biaya investasi yang memperoleh pembiayaan bank/LKS hanya untuk pembelian kendaraan. Sedangkan komponen yang lain diasumsikan telah dimiliki oleh pengusaha yang bersangkutan sebagai bagian dari kontribusinya dalam usaha (self financing). Pembiayaan kebutuhan dana tersebut akan diterima pada masa konstruksi. Pada alternatif kedua (running), semua biaya investasi diasumsikan sudah dimiliki oleh pengusaha sehingga tidak membutuhkan pembiayaan dari bank/LKS.

Kebutuhan biaya operasional baik untuk contoh perhitungan pada alternatif pertama dan kedua, pembiayaan dari perbankan/LKS hanya untuk pembeliaan bahan baku yaitu telur itik. Kebutuhan komponen-komponen biaya operasional yang lainnya juga diasumsikan sebagai bagian dari kontribusi pengusaha yang bersangkutan.

Pengadaan kendaraan dan bahan baku yang dimaksud pada pembiayaan tersebut di atas, dalam hal ini diasumsikan sudah tersedia dan telah dimiliki oleh pihak LKS/perbankan syariah. Untuk mengadakan barang dan bahan ini pihak LKS/perbankan syariah dapat menggunakan pihak lain dengan akad yang terpisah dari akad murabahah ini.

Keperluaan dana investasi dan operasional merujuk pada asumsi dari dua alternatif pembiayaan syariah ditampilkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4.
Komponen dan Struktur Biaya Proyek

No Komponen Biaya Proyek Total Biaya
Alternatif ? 1
(usaha baru) Alternatif -2
(usaha berjalan)
1. Biaya Investasi 173.525.000 173.525.000
a. Pembiayaan 70.000.000 0
b. Dana sendiri 103.525.000 173.525.000
2. Biaya Operasional 167.923.125 167.923.125
a. Pembiayaan 140.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 27.298.125 27.298.125
3. Total Biaya Proyek 341.448.125 341.448.125
a. Pembiayaan 210.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 130.823.125 200.823.125
Pembayaran angsuran pembiayaan dalam perhitungan kelayakan diasumsikan secara tetap dengan cara jumlah pembiayaan dibagi lama waktu pembiayaan selama jangka waktu proyek.

KEBUTUHAN DANA INVESTASI DAN MODAL KERJA
Total kebutuhan pembiayaan proyek sebesar Rp 341.448.125. Total biaya ini terdiri dari biaya investasi sebesar Rp 173.525.000 dan biaya operasionalnya sebesar Rp 167.923.125. Untuk kebutuhan dana operasional dihitung dari kebutuhan biaya variabel dan biaya tetap selama 1,5 bulan. Penetapan jangka waktu tersebut didasarkan atas perhitungan bahwa pendapatan dari penjualan telur asin diperoleh paling cepat pada hari ke 41 sejak proses produksi dilakukan.

Untuk kebutuhan dana investasi, pada contoh perhitungan alternatif pertama (start up), komponen biaya investasi yang memperoleh pembiayaan bank/LKS hanya untuk pembelian kendaraan. Sedangkan komponen yang lain diasumsikan telah dimiliki oleh pengusaha yang bersangkutan sebagai bagian dari kontribusinya dalam usaha (self financing). Pembiayaan kebutuhan dana tersebut akan diterima pada masa konstruksi. Pada alternatif kedua (running), semua biaya investasi diasumsikan sudah dimiliki oleh pengusaha sehingga tidak membutuhkan pembiayaan dari bank/LKS.

Kebutuhan biaya operasional baik untuk contoh perhitungan pada alternatif pertama dan kedua, pembiayaan dari perbankan/LKS hanya untuk pembeliaan bahan baku yaitu telur itik. Kebutuhan komponen-komponen biaya operasional yang lainnya juga diasumsikan sebagai bagian dari kontribusi pengusaha yang bersangkutan.

Pengadaan kendaraan dan bahan baku yang dimaksud pada pembiayaan tersebut di atas, dalam hal ini diasumsikan sudah tersedia dan telah dimiliki oleh pihak LKS/perbankan syariah. Untuk mengadakan barang dan bahan ini pihak LKS/perbankan syariah dapat menggunakan pihak lain dengan akad yang terpisah dari akad murabahah ini.

Keperluaan dana investasi dan operasional merujuk pada asumsi dari dua alternatif pembiayaan syariah ditampilkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4.
Komponen dan Struktur Biaya Proyek

No Komponen Biaya Proyek Total Biaya
Alternatif ? 1
(usaha baru) Alternatif -2
(usaha berjalan)
1. Biaya Investasi 173.525.000 173.525.000
a. Pembiayaan 70.000.000 0
b. Dana sendiri 103.525.000 173.525.000
2. Biaya Operasional 167.923.125 167.923.125
a. Pembiayaan 140.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 27.298.125 27.298.125
3. Total Biaya Proyek 341.448.125 341.448.125
a. Pembiayaan 210.625.000 140.625.000
b. Dana sendiri 130.823.125 200.823.125
Pembayaran angsuran pembiayaan dalam perhitungan kelayakan diasumsikan secara tetap dengan cara jumlah pembiayaan dibagi lama waktu pembiayaan selama jangka waktu proyek.
PRODUKSI DAN PENDAPATAN
Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi telur asin per bulan sebanyak 150.000 butir dengan asumsi kerusakan produk sebesar 1O/oo (satu per mil). Usaha ini diproyeksikan dapat berproduksi secara optimal sejak tahun pertama. Dengan harga jual telur sebesar Rp 800 per butir, maka untuk satu tahun produksi diproyeksikan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.440.000.000, namun dengan asumsi kerusakan yang ada, maka setiap tahun diperoleh pendapatan sebesar Rp 1.438.560.000. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha serta harga penjualan ditampilkan pada Tabel 5.5 dan Lampiran 6. Sedangkan diskripsi untuk biaya dan pendapatan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 5.5.
Proyeksi Produksi dan Pendapatan

No Produk Volume Unit Harga Jual (Rp) Penjualan 1 bulan Penjualan
1 tahun
1 Telur Asin 149.850 butir 800 119.880.000 1.438.560.000
Total 119.880.000 1.438.560.000
PROYEKSI RUGI LABA DAN BEP
Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha telur asin telah menghasilkan laba sejak tahun pertama (kapasitas 100%) sebagaimana ditambilkan pada Tabel 5.6. Selengkapnya proyeksi rugi laba usaha ditampilkan pada Lampiran 8.a dan Lampiran 9.a.

Tabel 5.6.
Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha

No Uraian Tahun
1 2 3
1 Total? Penerimaan 1.438.560.000 1.438.560.000 1.438.560.000
2 Total Pengeluaran
a. Alternatif ? 1 (baru) 1.409.709.554 1.409.709.554 1.409.709.554
b. Alternatif ? 2 (berjalan) 1.405.881.429 1.383.381.429 1.383.381.429
3. Laba/Rugi sebelum Pajak
a. Alternatif -1 (baru) 28.850.446 28.850.446 28.850.446
b. Alternatif ? 2 (berjalan) 32.678.571 55.178.571 55.178.571
4. Pajak (15%)
a. Alternatif ? 1 (baru) 4.327.567 4.327.567 4.327.567
b. Alternatif ? 2 (berjalan) 4.901.789 8.276.786 8.276.786
5. Laba Setelah Pajak
a. Alternatif ? 1 (baru) 24.522.879 24.522.879 24.522.879
b. Alternatif ? 2 (berjalan) 27.776.786 46.901.786 46.901.786
6. Profit on Sales
a. Alternatif ? 1 (baru) 1.70% 1.70% 1.70%
b. Alternatif ? 2 (berjalan) 1.93% 3.26% 3.26%
Keterangan : Produksi telur terjual per tahun = 1.798.200 butir
PROYEKSI ARUS KAS DAN KELAYAKAN PROYEK
Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan telur asin selama satu tahun. Untuk arus keluar meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran pembiayaan dan pajak penghasilan.

Evaluasi kelayakan untuk industri telur asin dengan pembiayan murabahah dapat diukur dari tingkat kemampuan membayar kewajiban kepada bank (shahibul maal). Hal ini dapat diketahui karena pada produk murabahah besarnya margin sudah ditentukan di awal akad, sehingga pada analisa laba rugi dan arus kas dapat dihitung kemampuan membayar dari pendapatan yang diperoleh usaha tersebut. Dari arus kas diketahui bahwa pada tingkat margin 16% p.a. untuk usaha baru dan 12,5% p.a untuk usaha yang sudah berjalan, usaha ini mampu membayar kewajiban pembiayaannya dan menghasilkan keuntungan. Dengan demikian usaha industri telur asin ini layak untuk dilaksanakan dan bisa dipertimbangkan untuk memperoleh pembiayaan.

Pada analisa kelayakan dapat juga memakai beberapa indikator yang umum digunakan pada perhitungan konvensional. Indikator tersebut meliputi IRR (nternal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio), PBP (Pay Back Period). Nilai IRR bisa menjadi indikator untuk mengukur kelayakan usaha, semakin tinggi nilai IRR maka usaha tersebut semakin berpeluang untuk menciptakan keuntungan. Meskipun demikian, indikator tersebut hanya sebagai alat bantu untuk menilai kelayakan suatu usaha. Besaran margin ataupun bagi hasil, harus ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak (shahibul maal dan mudharib).

Proyeksi arus kas untuk kelayakan industri telur asin selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 8.b dan Lampiran 9.b.
PEROLEHAN MARGIN
Pola pembiayaan syariah yang digunakan dalam pembiayaan usaha telur asin adalah murabahah (jual beli). Pada kesempatan ini ditampilkan 2 (dua) contoh alternatif pembiayaan yaitu untuk usaha baru (start up) dan usaha yang sudah berjalan (running). Perhitungan secara rinci, dapat dilihat pada Lampiran 8.c dan Lampiran 9.c.

Penentuan besaran margin, diutamakan berdasarkan pada base line data (data rujukan) untuk setiap komponen usaha/sektor ekonomi. Tetapi karena pada saat ini data tersebut belum tersedia, maka nilai margin mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari praktek umum yang diterapkan oleh perbankan syariah dan kesetaraan dengan suku bunga Bank Indonesia (SBI). Data pola pembiayaan pada perbankan syariah dapat dilihat pada Lampiran 10.

Untuk tingkat margin pada contoh pembiayaan alternatif pertama bagi usaha baru ditetapkan sebesar 12,5% per tahun dan selama tiga tahun proyek margin yang diperoleh sebesar Rp. 78.984.375. Sedangkan untuk alternatif kedua bagi usaha yang sudah berjalan tingkat margin ditetapkan sebesar 16% per tahun dan besar perolehan margin selama satu tahun adalah Rp.22.500.000. Tingkat margin ini diberlakukan flat (tetap) per tahun, selama umur proyek yang disepakati. Perbedaan tingkat margin karena mempertimbangkan pada alternatif pertama ada pembiayaan modal kerja dan investasi sehingga membutuhkan waktu lebih panjang. Oleh karena itu, tingkat margin yang diberikan direkomendasikan lebih rendah dari usaha yang sudah berjalan.
Lampiran 10. Pola Pembiayaan Syariah pada Perbankan Syariah

HAMBATAN DAN KENDALA
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin, karena sistem pembayaran hasil penjualan telur asin baru diterima 30 hari sejak proses produksi dilakukan, sedangkan pembelian bahan baku telur itik tawar dari peternak dilakukan secara tunai setiap dua kali seminggu. Kondisi ini mengharuskan pengusaha untuk mencadangkan dana pembelian telur itik tawar untuk jangka satu setengah bulan yang jumlahnya cukup besar.
ASPEK SOSIAL EKONOMI
Kabupaten Indramayu dan Cirebon dikenal sebagai daerah sentra padi dan peternakan itik. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang ini, baik sebagai pengusaha ataupun menjadi buruh tani atau peternak. Keberadaan industri telur asin meningkatkan nilai tambah telur-telur itik yang dihasilkan di daerah yang bersangkutan. Adanya industri telur asin ini juga mendorong berkembangnya usaha peternakan itik petelur, sehingga peningkatan permintaan telur asin akan meningkatkan pula produk telur itik.
Dari segi pemenuhan gizi masyarakat telur asin dapat menjadi salah satu sumber protein yang dapat dijadikan pengganti daging. Dengan harga yang murah dan rasa yang lezat, telur asin akan memiliki pasar yang luas yang tidak saja ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah melainkan juga bagi masyarakat menengah ke atas.
Secara umum keberadaan dan pengembangan industri telur asin memberi dampak yang positif bagi wilayah sekitarnya, karena semakin terbukanya peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat dan sekaligus peningkatan pendapatan daerah. Satu unit usaha telur asin mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12 orang, dengan upah Rp 400.000 - Rp 800.000 per orang per bulan. Pendapatan daerah dari pajak industri telur asin ini mencapai Rp 12 juta per tahun.
ASPEK DAMPAK LINGKUNGAN
Proses produksi dalam industri telur asin akan menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa sisa-sisa telur yang tidak ikut diproduksi atau sisa-sisa pecahan telur akibat proses produksi yang tidak ditangani dengan hati-hati. Selain itu ada pula limbah padat yang berasal dari sisa-sisa adonan pengasin yang dibuang setelah proses pengasinan. Limbah-limbah padat ini umumnya tidak berbahaya bagi lingkungan. Penanganan limbah ini cukup sederhana, yaitu dengan cara menguburkannya di dalam tanah dimana untuk bahan organik akan terurai menjadi bahan-bahan anorganik unsur hara tanah.
Limbah cair yang dihasilkan dari air sisa pencucian telur yang mengandung sabun pada umumnya langsung dibuang ke saluran air (sungai) tanpa pengolahan terlebih dahulu. Dalam jangka waktu yang lama limbah sabun ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang besar, karena itu tindakan pengolahan limbah secara sederhana sepertinya sudah menjadi keharusan. Pembuatan bak penampung limbah cair sederhana dapat menjadi salah satu alternatif penanganan limbah cair yang dihasilkan dari industri telur asin.
KESIMPULAN
1. Industri telur asin mempunyai peranan penting dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber protein dan lemak yang berharga murah bagi masyarakat. Perkembangan peternakan itik petelur merupakan faktor pendukung terbesar bagi industri telur asin agar dapat memasok telur asin dengan harga yang murah dan bermutu tinggi.
2. Dua faktor terpenting bagi keberhasilan industri telur asin selain faktor bahan baku adalah rasa telur asin dan kualitas pengangkutan produk. Rasa telur asin akan menjadi faktor pembeda suatu produsen dengan produsen lainnya, dimana akan timbul keterikatan antara konsumen dengan produsen telur asin tertentu.
3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk industri telur asin adalah Rp 173.525.000. Total biaya operasional (modal kerja) yang diperlukan adalah sebesar Rp 167.923.125. Kebutuhan biaya proyek tersebut diperoleh dari pembiayaan syariah dan dana sendiri. Kontribusi pembiayaan dan dana sendiri tergantung pada kebutuhan dan tahap perkembangan usaha indutri telur asin yang bersangkutan.
4. Menujuk pada analisis keuangan dan kelayakan proyek industri telur asin sesuai asumsi yang digunakan adalah layak untuk dilaksanakan. Industri ini juga mampu melunasi kewajiban pembiayaan kepada bank/LKS.
5. Pengembangan industri telur asin memberikan manfaat yang positif dari aspek sosial ekonomi wilayah dengan terbukanya peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat, dan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.
SARAN
1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi proses, dan aspek finansial, industri telur asin ini, layak untuk dibiayai.
2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan, pihak perbankan seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan usaha ini, khususnya pada aspek keuangan, dan manajemen pembukuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar