Rabu, 19 Mei 2010

Tips memilih bibit dan pakan kambing

Posted on August 24, 2008 by Nick

Salah satu faktor keberhasilan dalam beternak kambing, adalah keterampilan memilih bibit ternak (bakalan). Dari bibit yang baik akan menghasilkan keturann yang baik dan cepat tumbuh, terlebih dengan teknik pemberian pakan yang baik dan teratur.
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit kambing antara lain :

Umur Ternak : 8 – 12 bulan
Berat Badan : 10 – 15 kg
Ciri-ciri :

* warna kebanyakan tunggal yaitu coklat, hitam, putih, sawo matang atau kombinasi.
* temperamen lincah
* Kepala kecil dan ringan
* Telinga panjang dan mempunyai tanduk

Untuk pemberian pakan perlu diperhatikan dalam pemilihan dan pemberiaan pada ternak, pakan yang akan diberikan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Mengandung gizi lengkap seperti protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.
2. Disukai ternak
3. Mudah dicerna dan tidak menimbulkan gangguan pencernaan atau racun
4. Jumlahnya mencukupi

Jenis Pakan :

1. HIJAUAN :
Hijauan merupakan pakan utama kambing. Penggunaan 100% hijauan sebagai bahan pakan untuk kebutuhan pokok dan berproduksi hanya bisa diberikan bila kwalitas hijauan dijamin baik, dalam arti memenuhi syarat pakan. Hijaun pakan ternak terdiri dari rumput-rumputan, leguminosa dan sisa hasil pertanian.
2. MAKANAN PENGUAT/KONSETRAT :
Contoh makanan penguat : biji-bijian, umbi-umbian, dedak halus/bekatul, ampas tahu dan sebagainya.

Patokan umum bahan makanan yang diperlukan adalah 10% dari berat badan. Namun karena jumlah hijauan yang tidak dimakan cukup besar, dikarenakan sudah tua atau tidak disenangi ternak, maka perhitungan di dua kalikan. Sebagai contoh perhitungan untuk kambing dengan berat badan 30kg, maka hijauan yang harus disediakan adlah : 30X10/10X2= 6 kg/ekor/hari

Sedangkan untuk kebutuhan air pada ternak kambing berkisar antara 1,5 – 2,5 liter air, karena tubuh terdiri 70% air. Apabila sampai mengalami kekurangan air 20% akan berakibat kematian. Air tersebut dibutuhkan untuk pencernaan, sehingga air harus bersih, tidak beracun, dan harus selalu ada.

Komposisi rumput dan dauanan untuk kambing :

Kambing dewasa membutuhkan 75% rumput dan 25% daunan
Kambing bunting membutuhkan 60% rumput dan 40% daunan
Kambing menyusui membutuhkan 50% rumput dan 50% daunan
Kambing Anak lepas membutuhkan 60% rumput dan 40% daunan

sumber : disnakjatim

Selasa, 11 Mei 2010

Pelajaran Isra’ dan Mi’raj

Pelajaran Isra’ dan Mi’raj
Khutbah Jum'at
25/7/2008 | 22 Rajab 1429 H | Hits: 12.659
Oleh: Ibnu Jarir, Lc
--------------------------------------------------------------------------------


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله. والحمد لله حمدا الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. أما بعد..فيأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل وتمسك بهذا الدين تمسكا قويا والاستقامة في سبيله حتى يأتينا اليقين.

الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)

فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى (11) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (12) وَلَقَدْ رَآَهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16)

dakwatuna.com - “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya[847] agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” Al-Isra: 1

“Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang Telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang Telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang Telah dilihatnya? Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” An-najm: 10-16

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Tidak terasa bahwa kita sudah berada di bulan Rajab yang mulia, berarti beberapa bulan ke depan kita akan bersua kembali dengan bulan yang penuh berkah, Ramadhan Al-Mubarak. Di mulai dari bulan Rajab inilah Rasulullah mempersiapkan diri dan keluarganya untuk menyambut kedatangan tamu agung Ramadhan dengan berbagai persiapan istimewa demi menggapai kesempurnaan dan kebaikan Allah swt. yang berlimpah ruah. Dengan berdoa: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami berjumpa dengan bulan Ramadhan.”

Salah satu peristiwa besar yang hanya terjadi sekali seumur kehidupan manusia adalah peristiwa isra dan mi’raj Rasulullah saw. Isra’ berarti perjalanan Rasulullah di malam hari dari Masjdil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Sedangkan mi’raj berarti dinaikannya Rasulullah menghadap Allah di sidratil muntaha.

Peristiwa yang maha agung ini menunjukkan keagungan Rasul yang terpilih untuk menjadi subjek dalam peristiwa ini. Dalam beberapa riwayat, Rasuullah bahkan menjadi imam sholat bagi seluruh para nabi sebelumnya. Keagungan Rasul ini tentu menjadi kebanggaan dan kebahagian kita selaku umatnya dengan tetap mempertahankan dan memelihara kemuliaan tersebut dalam kehidupan kita. Jika tidak, maka berarti kita telah mengotori kemuliaan tersebut. Apalagi dengan sengaja menyalahi aturan dan sunnahnya. Na’udzu biLlah.

Peristiwa isra’ dan mi’raj diabadikan oleh Al-Qur’an dalam surah yang dinamakan dengan peristiwa tersebut, yaitu surah Al-Isra’. Bahkan peristiwa inilah yang mengawali surah ini. Simaklah firman Allah swt.:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1).

Dalam riwayat Imam Ahmad, disebutkan bahwa Rasulullah senantiasa membaca surah ini bersama surah Az-Zumar pada malam hari.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Sudut pandang tentang isra’ dan mi’raj memang bisa beragam; dari kacamata akidah, isra mi’raj mengajarkan tentang kekuasaan Allah swt. yang tidak terhingga.

Dari sudut pandang sains, mengajarkan bagaimana dunia keilmuan masih menyisakan teori ilmiah yang belum terkuak. Benarkan pernyataan tulus para malaikat Allah swt: “Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (2:32).

Dari sudut pandang moralitas, peristiwa ini mengajarkan bagaimana adab dan akhlak seorang hamba kepada Khaliqnya. Sungguh beragamnya sudut pandang ini menunjukkan keagungan peristiwa yang hanya sekali terjadi sepanjang kehidupan manusia, dan hanya terjadi kepada seorang insan pilihan, Rasulullah saw.

Sayyid Quthb menafsirkan ayat pertama dari surah Al-Isra ini dengan menyebutkan bahwa ungkapan tasbih yang mengawali peristiwa ini menujukkan keagungannya, karena tasbih diucapkan manakala menyaksikan atau melihat sesuatu yang luar bisa yang hanya mampu dilakukan oleh Dzat yang Maha Kuasa. Sedangkan lafadz “bi’abdihi” adalah untuk mengingatkan status manusia (Rasulullah) dengan anugerahnya yang bisa mencapai maqam tertinggi sidratul muntaha, agar ia tetap sadar akan kedudukanya sebagai manusia meskipun dengan penghargaan dan kedudukan yang tertinggi sekalipun yang tidak akan pernah dicapai oleh seluruh manusia sampai hari kiamat.

Allah swt. memilih perjalanan isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha adalah karena ada ikatan ideologis yang sangat erat; antara akidah Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad saw. Disamping ikatan kemasjidan antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dalam konteks keutamaannya. Rasulullah mengingatkan:

“Tidak dianjurkan mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid; Masjid Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Aqsha di Palestina.” (Bukhari).

Ini juga untuk mengingatkan umat Islam semua bahwa hubungan ideologis antara seluruh umat Islam dengan Palestina tidak boleh padam dan harus terus diperjuangkan.

بارك الله لنا ولكم في القرآن العظيم ونفعنا وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم و نستغفر الله فإنه غفور رحيم

sikap terhadap tayangan televisi

Sikap Terhadap Tayangan Televisi
Khutbah Jum'at
12/6/2009 | 18 Jumadil Akhir 1430 H | Hits: 4.574
Oleh: Thalhah Nuhin, Lc.
--------------------------------------------------------------------------------


الحمد لله الذي بعث النبيين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتاب بالحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جاءتهم البينات بغيا بينهم فهدى الله الذين آمنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له كما شهد هو سبحانه وتعالى أنه لا إله إلا هو والملائكة وأولوا العلم قائما بالقسط لا إله إلا هو العزيز الحكيم وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي ختم به أنبياءه وهدى به أولياءه ونعته بقوله في القرآن الكريم لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم وصلى الله عليه وعلى آله أفضل صلاة وأفضل تسليم أما بعد….
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Rabb Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Pengasih tanpa pilih kasih dan Tuhan Yang Maha Penyayang tanpa pandang sayang. Akhirnya, kita semua dalam hari yang mulya ini, hari yang penuh berkah ini dan hari yang agung ini, masih mampu merespon nida rabbani (seruan Allah) dalam surat Jumat ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Semoga dengan limpahan karunia dan nikmat yang masih kita rasakan sampai saat ini, bisa kita jadikan kembali sebagai sarana kehidupan kita menuju penguatan kualitas ketakwaan, pengokohan keimanan yang bersemayam dalam diri kita dan untuk membangun amal-amal unggulan dalam lembaran sejarah kehidupan kita yang fana ini.

Dampak Teknologi Informasi

Televisi (abc.net.au)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…..

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, lembaran kehidupan manusia tidak pernah lepas dan selalu diwarnai nilai-nilai yang lahir dari produk-produknya seperti media elektronik, media komunikasi dan dunia maya; internet. Produk-produk ini menjadi aksesoris yang sangat penting, tidak hanya menghiasi rumah dan perkantoran, akan tetapi juga melekat dengan diri mereka. Bagi seorang muslim, semua ini harus bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun kesalehan diri, memperbaiki citra diri dan untuk mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Sehingga masuk dalam katagori hadits Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebagian kebaikan Isalamnya seseorang bila meninggalkan apa-apa yang tidak berfaedah”. HR Imam At-Tirmidzi, hadits gharib.

Bahaya Televisi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Pertanyaannya; apakah produk-produk ini berbahaya bagi kehidupan kita? Apakah hal ini bertentangan dengan makan ibadah yang merupakan tujuan kehidupan ini? Dan apakah sangat bermanfaat bagi kita untuk memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan sepanjang kita bisa dan mampu mengelolanya? Coba kita renungkan sejenak hasil survey tayangan televisi:

“Benjamin Olken, ekonom dari MIT, beberapa tahun lalu pernah meneliti pengaruh televisi di kalangan rumah tangga Indonesia. Kita tahu bahwa pulau Jawa adalah daratan yang terdiri dari sejumlah gunung dan dataran tinggi. Akibatnya ada wilayah yang mendapatkan sinyal televisi bagus namun ada juga yang terperangkap bayangan dataran tinggi sehingga penerimaan sinyalnya terbatas.

Olken mensurvei lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima banyak saluran televisi. Hasilnya cukup menarik. Setiap bertambah satu channel televisi yang bisa dilihat, maka rata-rata mereka menonton televisi lebih tujuh menit lebih lama. Ketika survei ini dilakukan, hanya ada 7 stasiun televisi nasional. Kalau survei tersebut dilakukan saat ini, bisa jadi waktunya akan bertambah besar.

Temuan lain yang tak kalah menarik adalah di pedesaan dengan penerimaan sinyal televisi yang lebih bagus menunjukkan adanya tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah. Artinya, orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Lebih dari itu, di pedesaan tersebut juga terlihat adanya tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi di antara penduduk yang berakibat pada lesunya kerjasama perekonomian dan perdagangan.”(Pengaruh Televisi Bagi Masyarakat Indonesia, Nofie Iman)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Kemajuan teknologi informasi bisa berdampak positif atau negative. Hal ini sangat tergantung pada penggunanya. Apakah mereka akan memanfaatkan sisi positifnya atau sebaliknya. Sebagaimana tergambar dari hasil survey di atas. Yaitu rendahnya tingkat partisipasi social dari orang-orang yang suka menonton televise karena terlalu banyak menghabiskan waktunya di depan televisi tanpa harus memilah dan memilih acara atau program yang bermanfaat.

Bisa kita simpulkan tentang bahaya televisi bila tidak dikelola dengan management yang islami sebagai berikut:

Pertama; sarana ghazwul fikri (perang pemikiran) dan merusak akhlak

Kedua; sarana sosialisasi budaya permisif, konsumtif, matrialis dan hedonis

Ketiga; sarana menghabiskan waktu untuk yang tidak berfaedah

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Tiga hal ini bisa muncul bila yang mengelola media elektronik adalah orang yang hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan tanpa memperhatikan sisi education. Dan juga orang-orang yang mempunyai tujuan untuk merusak moral anak bangsa dan menjauhkan pemuda dari nilai-nilai agama. Maka yang muncul di layar televisi, internet dan media elektronik lainnya, hanyalah program-program yang berbau pornografi, mendorong hubungan bebas, budaya hidup permisif dan matrialis. Coba kita renungkan apa yang pernah diserukan oleh Samuel Zuemer di hadapan para misionaris pada tahun 1935 di Al-Quds: “Tujuan kalian bukan untuk mengeluarkan mereka dari agamanya, akan tetapi memutuskan hubungan dari tali agama sehingga tidak memiliki ikatan akhlak yang kuat…”

Sikap Kita Terhadap televisi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Dalam mengisi kehidupan yang fana ini, perlunya kita memperhatikan kembali citra diri dan keluarga berkaitan dengan media elektronik. Karena bukan hanya diri kita yang dituntut untuk menjadi pribadi yang mempesona, akan tetapi juga istri dan anak-anak kita. Itulah yang ditegaskan Allah SWT dalam salah satu ayatnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahriim: 6)

Berangkat dari perenungan ayat ini, maka kita harus bersikap yang benar terhadap beragam tayangan televise. Agar kita benar-benar bisa menjaga diri dan keluarga kita dari hal-hal yang tidak berfaedah yang berujung pada kerugian besar. Semoga kita masih memiliki rasa malu dalam mensikapi berwarna-warni tayangan televisi. Tidak membiasakan menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV tanpa memilah dan memilih program yang berfaedah dan bermakna bagi kehidupan keluarga. Wabil khusus berkaitan dengan anak-anak kita. Rasulullah SAW bersabda:

عن ابن مسعود مرفوعاً : (( الاستحياء من الله تعالى أنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وما حَوَى ، وتَحفَظَ البَطنَ وما وَعَى ، ولْتَذْكُرِ الموتَ والبِلى، فمن فَعَل ذلك ، فقد استحيَى من الله حقَّ الحياء ))(رواه الترمذي) .

Dari Ibnu Mas’ud ra –secara marfu’-: “Rasa malu kepada Allah SWT bila kamu menjaga kepala dan isinya, perut dan yang di dalamnya dan hendaklah kamu mengingat kematian dan kehancuran. Maka barang siapa yang melakukan itu, sungguh dia telah memiliki rasa malu yang sebenarnya kepada Allah” HR Imam At-Tirmidzi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Jadi, yang perlu kita perhatikan pada tayangan dan program TV adalah:

Pertama; Memilah dan memilih program yang bermanfaat dan memiliki nilai education. Jangan sampai kita membiarkan diri kita larut dalam pilihan yang salah bahkan menjerumuskan anak-anak kita. Orang tua harus mendampingi anak-anak dalam menikmati tayangan TV. Tidak hanya mendampingi saja, tapi mengarahkan kepada hal-hal yang baik dan benar untuk masa depannya. Jangan sampai menjadi generasi yang mengabaikan ibadah dan mengikuti hawa nafsunya. Apalagi sangat banyak tanyangan sinetron yang tidak mendidik para pemuda, bahkan menjerumuskan mereka untuk mengikuti dan menteladani hal-hal yang mengarah pada dekadensi moral. Allah SWT berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, Maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun,” (QS. Maryam: 59-60)

Kedua; Memperhatikan waktu secara tepat. Jangan sampai ada satuan waktu yang berlalu tanpa ada satuan kebaikan yang terbangun. Jangan biarkan Waktu-waktu kita berlalu dengan tayangan-tayangan gossip, ghibah, pornografi dan pornoaksi.

إذا تكلمتَ فاذْكُر سَمعَ اللهِ لك ، وإذا سكتَّ فاذكر نظره إليك. )روي هذا القول عن أحمد بن منيع ، وروي عن الربيع بن خثيم ، وروي عن حاتم الأصم . انظر : سير أعلام النبلاء 11/485 ، وصفة الصفوة 3/68 و4/162(

Orang bijak berkata: “Apabila kamu bicara, ingatlah bahwa Allah SWT mendengar kamu dan apabila kamu diam, maka ingatlah bahwa Dia melihatmu.” (dari Imam Ahmad bin Mani’, Ar-Rabi’ bin Khutsaim dan Hatim Al-Asham, lihat Siar A’laam An-Nubalaa: 11/485, shifat Ash-Shofwah: 3/68 & 4/162)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Semoga kita tetap istiqamah dan menjadi hamba-hambanya yang sholeh. Senantiasa mempesona dengan nilai-nilai Islam di hadapan Allah dan di hadapan manusia. Wallahu a’lam.

sikap terhadap tayangan televisi

Sikap Terhadap Tayangan Televisi
Khutbah Jum'at
12/6/2009 | 18 Jumadil Akhir 1430 H | Hits: 4.574
Oleh: Thalhah Nuhin, Lc.
--------------------------------------------------------------------------------


الحمد لله الذي بعث النبيين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتاب بالحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جاءتهم البينات بغيا بينهم فهدى الله الذين آمنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له كما شهد هو سبحانه وتعالى أنه لا إله إلا هو والملائكة وأولوا العلم قائما بالقسط لا إله إلا هو العزيز الحكيم وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي ختم به أنبياءه وهدى به أولياءه ونعته بقوله في القرآن الكريم لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم وصلى الله عليه وعلى آله أفضل صلاة وأفضل تسليم أما بعد….
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Rabb Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Pengasih tanpa pilih kasih dan Tuhan Yang Maha Penyayang tanpa pandang sayang. Akhirnya, kita semua dalam hari yang mulya ini, hari yang penuh berkah ini dan hari yang agung ini, masih mampu merespon nida rabbani (seruan Allah) dalam surat Jumat ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Semoga dengan limpahan karunia dan nikmat yang masih kita rasakan sampai saat ini, bisa kita jadikan kembali sebagai sarana kehidupan kita menuju penguatan kualitas ketakwaan, pengokohan keimanan yang bersemayam dalam diri kita dan untuk membangun amal-amal unggulan dalam lembaran sejarah kehidupan kita yang fana ini.

Dampak Teknologi Informasi

Televisi (abc.net.au)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…..

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, lembaran kehidupan manusia tidak pernah lepas dan selalu diwarnai nilai-nilai yang lahir dari produk-produknya seperti media elektronik, media komunikasi dan dunia maya; internet. Produk-produk ini menjadi aksesoris yang sangat penting, tidak hanya menghiasi rumah dan perkantoran, akan tetapi juga melekat dengan diri mereka. Bagi seorang muslim, semua ini harus bisa dijadikan sebagai sarana untuk membangun kesalehan diri, memperbaiki citra diri dan untuk mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Sehingga masuk dalam katagori hadits Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebagian kebaikan Isalamnya seseorang bila meninggalkan apa-apa yang tidak berfaedah”. HR Imam At-Tirmidzi, hadits gharib.

Bahaya Televisi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Pertanyaannya; apakah produk-produk ini berbahaya bagi kehidupan kita? Apakah hal ini bertentangan dengan makan ibadah yang merupakan tujuan kehidupan ini? Dan apakah sangat bermanfaat bagi kita untuk memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan sepanjang kita bisa dan mampu mengelolanya? Coba kita renungkan sejenak hasil survey tayangan televisi:

“Benjamin Olken, ekonom dari MIT, beberapa tahun lalu pernah meneliti pengaruh televisi di kalangan rumah tangga Indonesia. Kita tahu bahwa pulau Jawa adalah daratan yang terdiri dari sejumlah gunung dan dataran tinggi. Akibatnya ada wilayah yang mendapatkan sinyal televisi bagus namun ada juga yang terperangkap bayangan dataran tinggi sehingga penerimaan sinyalnya terbatas.

Olken mensurvei lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima banyak saluran televisi. Hasilnya cukup menarik. Setiap bertambah satu channel televisi yang bisa dilihat, maka rata-rata mereka menonton televisi lebih tujuh menit lebih lama. Ketika survei ini dilakukan, hanya ada 7 stasiun televisi nasional. Kalau survei tersebut dilakukan saat ini, bisa jadi waktunya akan bertambah besar.

Temuan lain yang tak kalah menarik adalah di pedesaan dengan penerimaan sinyal televisi yang lebih bagus menunjukkan adanya tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah. Artinya, orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Lebih dari itu, di pedesaan tersebut juga terlihat adanya tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi di antara penduduk yang berakibat pada lesunya kerjasama perekonomian dan perdagangan.”(Pengaruh Televisi Bagi Masyarakat Indonesia, Nofie Iman)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Kemajuan teknologi informasi bisa berdampak positif atau negative. Hal ini sangat tergantung pada penggunanya. Apakah mereka akan memanfaatkan sisi positifnya atau sebaliknya. Sebagaimana tergambar dari hasil survey di atas. Yaitu rendahnya tingkat partisipasi social dari orang-orang yang suka menonton televise karena terlalu banyak menghabiskan waktunya di depan televisi tanpa harus memilah dan memilih acara atau program yang bermanfaat.

Bisa kita simpulkan tentang bahaya televisi bila tidak dikelola dengan management yang islami sebagai berikut:

Pertama; sarana ghazwul fikri (perang pemikiran) dan merusak akhlak

Kedua; sarana sosialisasi budaya permisif, konsumtif, matrialis dan hedonis

Ketiga; sarana menghabiskan waktu untuk yang tidak berfaedah

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Tiga hal ini bisa muncul bila yang mengelola media elektronik adalah orang yang hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan tanpa memperhatikan sisi education. Dan juga orang-orang yang mempunyai tujuan untuk merusak moral anak bangsa dan menjauhkan pemuda dari nilai-nilai agama. Maka yang muncul di layar televisi, internet dan media elektronik lainnya, hanyalah program-program yang berbau pornografi, mendorong hubungan bebas, budaya hidup permisif dan matrialis. Coba kita renungkan apa yang pernah diserukan oleh Samuel Zuemer di hadapan para misionaris pada tahun 1935 di Al-Quds: “Tujuan kalian bukan untuk mengeluarkan mereka dari agamanya, akan tetapi memutuskan hubungan dari tali agama sehingga tidak memiliki ikatan akhlak yang kuat…”

Sikap Kita Terhadap televisi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Dalam mengisi kehidupan yang fana ini, perlunya kita memperhatikan kembali citra diri dan keluarga berkaitan dengan media elektronik. Karena bukan hanya diri kita yang dituntut untuk menjadi pribadi yang mempesona, akan tetapi juga istri dan anak-anak kita. Itulah yang ditegaskan Allah SWT dalam salah satu ayatnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahriim: 6)

Berangkat dari perenungan ayat ini, maka kita harus bersikap yang benar terhadap beragam tayangan televise. Agar kita benar-benar bisa menjaga diri dan keluarga kita dari hal-hal yang tidak berfaedah yang berujung pada kerugian besar. Semoga kita masih memiliki rasa malu dalam mensikapi berwarna-warni tayangan televisi. Tidak membiasakan menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV tanpa memilah dan memilih program yang berfaedah dan bermakna bagi kehidupan keluarga. Wabil khusus berkaitan dengan anak-anak kita. Rasulullah SAW bersabda:

عن ابن مسعود مرفوعاً : (( الاستحياء من الله تعالى أنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وما حَوَى ، وتَحفَظَ البَطنَ وما وَعَى ، ولْتَذْكُرِ الموتَ والبِلى، فمن فَعَل ذلك ، فقد استحيَى من الله حقَّ الحياء ))(رواه الترمذي) .

Dari Ibnu Mas’ud ra –secara marfu’-: “Rasa malu kepada Allah SWT bila kamu menjaga kepala dan isinya, perut dan yang di dalamnya dan hendaklah kamu mengingat kematian dan kehancuran. Maka barang siapa yang melakukan itu, sungguh dia telah memiliki rasa malu yang sebenarnya kepada Allah” HR Imam At-Tirmidzi

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Jadi, yang perlu kita perhatikan pada tayangan dan program TV adalah:

Pertama; Memilah dan memilih program yang bermanfaat dan memiliki nilai education. Jangan sampai kita membiarkan diri kita larut dalam pilihan yang salah bahkan menjerumuskan anak-anak kita. Orang tua harus mendampingi anak-anak dalam menikmati tayangan TV. Tidak hanya mendampingi saja, tapi mengarahkan kepada hal-hal yang baik dan benar untuk masa depannya. Jangan sampai menjadi generasi yang mengabaikan ibadah dan mengikuti hawa nafsunya. Apalagi sangat banyak tanyangan sinetron yang tidak mendidik para pemuda, bahkan menjerumuskan mereka untuk mengikuti dan menteladani hal-hal yang mengarah pada dekadensi moral. Allah SWT berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, Maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun,” (QS. Maryam: 59-60)

Kedua; Memperhatikan waktu secara tepat. Jangan sampai ada satuan waktu yang berlalu tanpa ada satuan kebaikan yang terbangun. Jangan biarkan Waktu-waktu kita berlalu dengan tayangan-tayangan gossip, ghibah, pornografi dan pornoaksi.

إذا تكلمتَ فاذْكُر سَمعَ اللهِ لك ، وإذا سكتَّ فاذكر نظره إليك. )روي هذا القول عن أحمد بن منيع ، وروي عن الربيع بن خثيم ، وروي عن حاتم الأصم . انظر : سير أعلام النبلاء 11/485 ، وصفة الصفوة 3/68 و4/162(

Orang bijak berkata: “Apabila kamu bicara, ingatlah bahwa Allah SWT mendengar kamu dan apabila kamu diam, maka ingatlah bahwa Dia melihatmu.” (dari Imam Ahmad bin Mani’, Ar-Rabi’ bin Khutsaim dan Hatim Al-Asham, lihat Siar A’laam An-Nubalaa: 11/485, shifat Ash-Shofwah: 3/68 & 4/162)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Semoga kita tetap istiqamah dan menjadi hamba-hambanya yang sholeh. Senantiasa mempesona dengan nilai-nilai Islam di hadapan Allah dan di hadapan manusia. Wallahu a’lam.

rambu memilih pejabat

Rambu Memilih Pejabat
Khutbah Jum'at
17/6/2009 | 23 Jumadil Akhir 1430 H | Hits: 4.317
Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------


الْحَمْدُ للهِ الَّذِي يُنِيْرُ بِالْهُدَى دُرُوْبَ الْمُؤْمِنِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَاالْحَاضِرُوْنَ أُوْصِى نَفْسِى وَإِيَاكُمْ بِالتَّقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَدْ قَالَ اللهُ فِي تَنْـزِيْلِهِ:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ، وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Hadirin Jama’ah Shalat Jum’at yang berbahagia,

Arti dari ayat yang baru saja kita dengar adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah – berargumen dengan ayat ini atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Barangsiapa yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman (as-Siyaasah asy-Syar’iyah: 14).

Ibnu Taimiyah melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan kepada anaknya, maka ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan haknya. Ada juga orang, yang karena ingin menambah kekayaan atau demi mengamankan usahanya ia berkolusi untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang yang berlaku demikian, kata ulama yang lebih dikenal dengan syaikhul Islam ini, telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya (ibid. hal: 15).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama (Muqadimah Ibnu Khaldun: 211).

Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa fungsi jabatan apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini berlaku untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti presiden, panglima perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain sebagainya., sampai jabatan terendah seperti pimpinan rombongan dalam sebuah perjalanan. (al Hisbah: 8-14).

Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena ia akan dipertanggungjawabkan di dunia kepada rakyat, dan kepada Allah kelak di akhirat. Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang sempat meminta jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim, no:1826).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Terdapat beberapa indikator di dalam Al-qur’an, sebagai acuan kita dalam memilih pemimpin. Pertama, bahwa seorang kandidat harus memiliki track record yang baik sebelum ia diangkat sebagai pemimpin, ia memiliki misi dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika Allah swt. mengangkat nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin bagi seluruh manusia, karena prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang diembannya. Ibrahim dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid dan mengembalikan loyalitas dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah semata. Sejak remaja, ketika ia berhasil menumbangkan berhala-berhala lalu ia dibakar hidup-hidup, hingga usianya yang senja, ketika diuji agar menyembelih putranya, Ismail, dan membangun Ka’bah sebagai lambang kemurnian tauhid, Ibrahim tetap konsisten dalam memegang idealismenya, yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam semesta. Namun ketika Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak keturunannya sebagai pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak boleh orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah: 124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas panggung kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh. Tepatlah ucapan khalifah Umar bin Khatthab ra. dalam sebuah do’anya, “Ya Allah, ku mengeluh kepada-Mu, mengapa sang pendosa memiliki kekuatan sedang orang yang terpercaya seringkali lemah” (al Hisbah: 15).

Kedua, kita harus mengangkat pemimpin yang seiman. Allah berfirman, “Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka..” (QS. Ali Imran: 28).

Ketiga, memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul kelompok, partai, dan relasi-relasi dekat sang kandidat. Karena betapapun bersih dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan, kelompok atau partai yang busuk, lambat laun keshalihannya akan terkikis dan keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi menjustifikasi prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi”. (QS. Ali Imran: 118).

Keempat, pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang yang ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala jalan dan menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, di antaranya menyuap (money politic), memalsukan berkas-berkas pencalonan dan sebagainya. Ketika berhasil menjabat, orang demikian, tidak akan segan-segan melakukan praktek kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi sebesar-besarnya, sekalipun dengan melanggar HAM atau merusak flora dan fauna. Firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 204-205).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Selain itu, masih terdapat indikator-indikator lain dalam memilih pemimpin dalam Alqur’an, seperti ia harus mempunyai intergritas keilmuan yang terkait dengan kepemimpinannya, sehat jasmani-ruhani dan sebagainya. (QS. Al-Baqarah: 247 dan Al-Qashash: 26).

Di alam demokrasi, seperti di negeri ini, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan, baik pada tingkat nasional maupun lokal, berada di tangan setiap individu, kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan kandidat pemimpin yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan dan moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi dan misi dakwah rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan secara konstitusional sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita bakal diperintah oleh sekelompok orang yang tak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa ini ke depan. Na’udzu biLlah min dzalik.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَاكُمء بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Delapan Tanda Orang Ikhlas
Tazkiyatun Nufus
25/8/2009 | 04 Ramadhan 1430 H | Hits: 13.016
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------


Ayat Al Qur'an surat Al Ikhlash
Dua Syarat Amal

dakwatuna.com – Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.

Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)

7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan

Manajemen Doa untuk Harapan yang Menguatkan Hidup

Manajemen Doa untuk Harapan yang Menguatkan Hidup
Tazkiyatun Nufus
12/9/2009 | 21 Ramadhan 1430 H | Hits: 5.609
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com – Dalam realitas pengalaman hidup di zaman modern, seseorang akan menghadapi dua kecenderungan spiritual yang kontradiktif dan cenderung menjadi gejala anomali sosial. Di satu sisi, zaman modern yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi ini sebagaimana disinyalir oleh John Naisbit dalam High Tech – Haigh Touch: Technology and Our Search for Meaning (1999) justru membuat orang mendewakan teknologi, rasionalitas dan potensi material sehingga sering mengabaikan kekuatan agama dan dinamika spiritual. Namun, di balik gejala zaman modern yang melupakan Allah itu (QS. Al-Hasyr:19), justru terdapat satu fenomena yang mungkin luput dari pengamatan Naisbitt bahwa pada saat yang sama, sebagai keniscayaan sunnatullah, telah tumbuh subur kesadaran spiritualitas di kalangan masyarakat perkotaan, kaum eksekutif dan profesional, kaum teknokrat dan kantoran, bahkan masyarakat pekerja dan rumahan secara umum yang cenderung mendambakan kembali keteduhan rohaniah di tengah galau rutinitas yang bergetah dan kegaduhan materialisme yang memuakkan. Hal itu di antaranya ditandai dengan semakin maraknya kegiatan dzikir dan doa, serta gelar tabligh dan pengajian yang semakin intens, masif dan massal khususnya pada momentum bulan suci Ramadhan.

Doa sebagai ekspresi dzikrullah dalam detak spiritualitas yang merupakan saripati ibadah sebagaimana sabda Rasul (HR. Bukhari dan Muslim) memberikan makna kesadaran diri cognizance (self awareness) yang senantiasa merasakan kehadiran Tuhan dan pengakuan kelemahan diri. Doa pada dasarnya bukan sekadar ritual melainkan sebuah oase di tengah gurun kebisingan dan sebuah taman di tengah rimba keresahan duniawi. Sebab doa sebagai manifestasi dzikrullah menjanjikan ketenangan dan keteduhan batin apa yang sangat dirindukan oleh manusia zaman modern seperti pesan perjalanan spiritual John Kehoe, penulis buku best seller Mind Power melalui pengalaman kontemplasi dan meditasi doa (QS. Ar-Ra’d:28). Doa yang benar akan membawa keteguhan istiqamah dalam prinsip hidup dan dengan doa seseorang akan memiliki sikap optimis, karena doa pada hakikatnya merupakan rintihan dan curhat hamba kepada al-Khaliq sebagai pemilik segala kekuatan dengan harapan curahan pertolongan.

Karena doa merupakan bagian dzikrullah, maka ia otomatis tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah yang senantiasa ada untuk dipuja dan dimohon yang telah memerintahkan hamba-Nya untuk tidak jemu memohon kepada-Nya dan Dia mencintai hamba-Nya yang rajin berdoa secara benar dan kontinyu sebagaimana kesimpulan Karl Jasper bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia. (QS. Al-Mukmin:60, al-A’raf:55-56)

Rudolf Otto dalam bukunya yang terkenal, Das Heilige, memberikan indikasi terhadap orang yang berdoa atau beragama, dalam dua terminologi yaitu pertama; tremendum yang mencerminkan perasaan orang yang mendatangi Tuhan dengan suasana takut dan kedua; facsinans yang mencerminkan perasaan ketertarikan dan harapan. Namun dalam terminologi Islam, konsideran doa tidak sekadar rasa takut (khouf) yang melahirkan jiwa tabah dan berani dan rasa harapan (roja’) yang melahirkan jiwa yang optimis dan menumbuhkan motivasi, melainkan juga terdapat gelora rasa cinta (mahabbah) yang menghidupkan dan menerangi jiwa yang akan semakin mesra dengan Allah Sang Maha Kekasih. (QS. Al-Anfaal:2)

Gumam mulut dan ucapan lidah di dalam berdoa bukanlah hakikat dari doa itu sendiri, karena doa merupakan esensi jiwa yang harus disampaikan dengan sepenuh kalbu dan dari nurani terdalam dengan penuh kesadaran (QS. Al-A’raf:205). Bermunajat kepada Allah sudah semestinya memerlukan manajemen doa, karena betapa banyak orang yang berdoa panjang disertai suara keras dan lelehan air mata, namun tidak disertai fiqih doa sehingga doanya tidak efektif betapapun tulus pintanya.

Kekuatan doa yang akan mengalirkan energi dahsyat dan banyak mukjizat dalam hidup memerlukan kekuatan dalam berdoa yang berupa keyakinan. Sebuah pengalaman nyata yang saya alami secara pribadi membenarkan hal itu. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah diamanahi untuk membimbing jamaah haji dan peristiwa ajaib itu bermula pada prosesi haji di Mina di mana beberapa jamaah saya tersesat dan terlepas dari rombongan sehingga membuat kami semua kerepotan mencari-cari mereka beberapa hari. Akhirnya, pada saat klimaks tidak ada harapan lagi menemukan mereka kecuali bergantung doa kepada Allah Yang Maha Kuasa dan diliputi rasa tanggung jawab, maka dengan penuh keyakinan yang sulit digambarkan saya berdoa kepada Allah di depan jumrah ‘Aqabah dengan berucap lirih “Ya Allah, jika Janji-Mu memang benar, tanah suci-Mu memang mulia, dan hari suci-Mu memang agung, pertemukanlah kami dengan mereka yang hilang sekarang juga.” Dan apa yang terjadi sekejap setelah itu sungguh sempat memerindingkan bulu kuduk saya dengan serta merta jamaah yang hilang berlalu di hadapan saya dan seketika spontan kami memanggil dan akhirnya bertemu dengan mereka. Kejadian itu sempat membuat hati kami haru dan bertambah yakin bahwa “Maha benar Engkau Ya Allah dengan segala janji-Mu; berdoalah kepada-Ku niscaya akan Ku-kabulkan”.

Herbert Benson dan William Proctor dalam Beyond the Relaxation Response (1984) berkeyakinan bahwa doa yang penuh kekuatan iman akan dapat memberikan kesembuhan. Hal itu secara empirik terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Randolph Byrd, seorang kardiolog dan mantan profesor Universitas California terhadap 393 pasien di Rumah Sakit Umum San Fransisco yang dibagi secara acak dan dikelompokkan pada tempat yang berbeda. Setiap pasien didoakan oleh lima puluh tujuh orang. Hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Pasien yang didoakan menunjukkan keadaan yang jauh lebih baik daripada mereka yang tidak didoakan. Mereka hanya membutuhkan 20% antibiotik daripada kelompok yang tidak didoakan yang kemungkinan terkena pulmonary edema ‘paru-paru basah’ 30% lebih kecil. Pembuktian ilmiah tentang kekuatan doa ini, diteruskan dengan penelitian terhadap tumbuh-tumbuhan. Benih gandum yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu benih yang didoakan dan yang tidak. Hasilnya ternyata benih yang didoakan tumbuh dengan cabang-cabangnya yang kuat dan lebih banyak dibandingkan dengan benih yang tidak didoakan.

Sebuah publikasi penelitian tentang kanker yang dilakukan oleh para peneliti dari National Institutes of Health, USA yang dipimpin oleh Dr. Richad Childs, menyatakan bahwa penyakit kanker yang berat seperti kanker darah, kanker ginjal dan kanker getah bening biasanya sangat resisten dan tidak mempan terhadap berbagai pengobatan seperti chemotherapy maupun radio therapy. Namun, sel-sel kanker ganas ini rupanya justru sangat rentan (susceptible) dan takluk terhadap sistem kekebalan tubuh melalui sistem imunitas penderita dan di antara cara peningkatan sistem kekebalan tubuh adalah sebagaimana temuan seorang dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya yaitu melalui ikhtiar spiritual doa dan shalat yang benar dan rutin seperti melazimkan wirid tahajjud.

Menurut Norman Vincent Peale dalam The Power of Positive Thinking bahwa dewasa ini orang cenderung sering berdoa dibandingkan sebelumnya, karena mereka semakin merasakan bahwa doa dapat menambah efisiensi pribadi dan doa membantu mereka menyadap kekuatan dan memanfaatkan kekuatan yang tersedia. Doa sebagaimana kesimpulan pakar psikologi merupakan kekuatan terbesar yang tersedia bagi seseorang dalam memecahkan masalah pribadinya. Kekuatan doa adalah manifestasi dari energi seperti halnya ada teknik ilmiah untuk pelepasan energi atom, maka ada prosedur ilmiah untuk pelepasan energi spiritual melalui mekanisme doa. Kekuatan doa tampaknya bahkan mampu menormalkan proses penuaan, meniadakan atau membatasi kelemahan dan kemunduran.

Untuk mendapatkan hasil yang efektif dari doa, Peale menawarkan sepuluh kaidah dalam manajemen doa; 1. Meluangkan beberapa menit dalam setiap hari untuk hanya berfikir dan mengingat Tuhan; 2. Berdoa secara lisan dengan menggunakan kata-kata yang sederhana dan wajar sesuai suara hati; 3. Berdoalah sementara Anda memulai urusan kehidupan sehari-hari; 4. Jangan selalu meminta ketika Anda berdoa melainkan juga dengan pujian dan mengucapkan syukur; 5. Berdoalah dengan keyakinan bahwa doa yang sungguh-sungguh dapat menjangkau siapapun yang Anda kasihi; 6. Jangan pernah menggunakan pikiran negatif dalam berdoa; 7. Selalu ekspresikan kesediaan untuk menerima kehendak Tuhan; 8. Latihlah sikap menyerahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan; 9. Berdoalah untuk orang-orang yang Anda tidak sukai atau memperlakukan Anda dengan buruk; 10. Buatlah daftar orang yang ingin Anda doakan. Semakin banyak Anda berdoa untuk orang lain, khususnya mereka yang tidak berhubungan dengan Anda, semakin banyak hasil doa akan kembali kepada Anda.
Kaidah kesepuluh tersebut sebenarnya juga dianjurkan oleh Frank Laubach dalam bukunya Prayer, the Mightiest Power in the World melalui teknik mengalirkan energi doa yang positif, ibarat tembakan strum listrik kepada siapapun tanpa pandang bulu termasuk orang-orang di jalanan yang ditemuinya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. bahwa seseorang yang mendoakan orang lain maka malaikat akan berdoa serupa untuknya.

Imam An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar menyebutkan bahwa syarat diterimanya doa adalah energi yang dikonsumsi untuk berdoa adalah halal dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Imam ar-Razi mengatakan dalam pesan doanya: “Bagaimana aku berdoa kepada-Mu sementara aku berbuat maksiat, dan bagaimana aku tidak berdoa kepada-Mu padahal Engkau Maha Pemurah.”

Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali menyampaikan sepuluh metode dalam manajemen doa yang efisien untuk mendapatkan hasilnya yang efektif; 1. Memilih waktu yang tepat dan memanfaatkan saat-saat mulia seperti Ramadhan, ‘Arafah, Jum’at, dan saat sepertiga akhir di waktu sahur yang merupakan saat mustajab; 2. Memanfaatkan kondisi yang mustajab (terkabul) seperti kondisi sujud, jihad, turun hujan, qamat; 3. menghadap kiblat, menengadahkan tangan, dan mengusap wajah saat selesai; 4. menyederhanakan suara dan menghindari suara keras; 5. menyederhanakan bahasa doa dan lebih afdhal bila takut salah ucap sebaiknya menggunakan doa al-Qur’an dan doa yang diajarkan atau dilakukan oleh Nabi; 6. penuh khidmat, khusyu’ dan emosi jiwa; 7. bersungguh-sungguh dalam memohon dan berharap yang disertai keyakinan dikabulkan doanya; 8. menekankan permohonannya dan dapat mengulanginya tiga kali tanpa disertai prasangka akan lama dikabulkannya; 9. memulai doanya dengan dzikir dan pujian kepada Allah serta shalawat kepada Rasulullah; 10. Itikad tulus dan niat kuat untuk bertaubat secara benar dan merehabilitasi akibat kezhalimannya serta berhijrah kepada Allah.

Doa merupakan kekuatan dan energi yang tiada tara karena ia terhubung dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Doa bagi seorang mukmin adalah senjata (silah) karena tidak ada perlindungan dan daya kecuali dari Allah. Sungguh tidak tahu diri seseorang yang hanya tergantung pada materi yang rapuh dan fana sehingga meremehkan kekuatan doa. Alangkah celakanya orang yang merasa telah banyak berdoa dan bahkan pada waktu dan tempat yang mustajab, namun tak kunjung efektif, karena sesungguhnya ia membiarkan virus haram dalam konsumsinya menghambat aliran frekuensi doa untuk sampai kepada Allah. Adalah sangat beruntung orang yang hembus nafasnya selalu mengandung unsur doa yang benar sesuai kadar dan komposisi yang tepat serta bersih dari partikel haram yang mengganggunya keterkabulannya. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah. []